Kamis, 22 November 2012

Subjektifitas VS Objektivitas Berpikir. Bagaimana menurut Anda?


A: "Eh, HOMO itu haram!!.."
B: "Sial Lo!!.. Objektif Dong kalau mikir, subjektif banget cara pandang Loe, agama dibawa-bawa!!"

Hmmm................. Ini percakapan yg saya dramatisir.. tapi memang percakapan tsb memang ada.. :)
Bagaimana pandangan rekan-rekan terhadap sanggahan si B? Dia berbicara ttg Objektifitas dan Subjektifitas..

Mari simak tulisan sahabat saya dibawah ini.. (gaya bahasanya beda banget, ini saya copas langsung tanpa ada perubahan dalam Notenya)

Berbicara tentang subjektifitas-objektifitas saya punya pengalaman menarik. Saya pernah menghadiri sebuah diskusi ilmiah dengan tema subjektifitas-objektifitas. Jadi dalam diskusi tersebut, dengan panjang lebar saya menjelaskan tentang definisi subjektif dan objektif. Dalam makalah saya, dengan enaknya saya menuliskan :

Secara terminologi, objektif artinya sesuai dengan keberadaan realitas. Objek berada di luar dari pengamat, ada di luar sana. Itu artinya apapun kondisi yang mempengaruhi pengamat maka suatu realitas di luar sana tidak berubah. Objektifitas melarang adanya asumsi-asumsi awal dalam melakukan penilaian terhadap sebuah perkara. Namun satu hal yang seringkali dilupakan oleh kita, bahwa objektif itu mensyaratkan adanya tolok ukur penilaian standard untuk menilai benar atau tidaknya sebuah objek. Tolok ukur yang tetap dan tidak berubah sepanjang zaman. Tolok ukur yang lengkap, yang mampu dijabarkan dalam aturan jika begini maka salah jika begitu maka benar. Tanpa tolok ukur itu, idealisme objektifitas tidak akan pernah tercapai. Allah menurunkan Al Qur'an dan Rasulullah SAW mewariskan sunnah sebagai panduan hidup, sebagai peraturan yang wajib dijalankan oleh seorang muslim. Al qur'an dan sunnah bukan asumsi, melainkan tolok ukur yang harus digunakan oleh seorang muslim dalam menilai benar tidaknya suatu perkara.

Tapi rasanya ada jurang yang begitu menganga lebar ketika ada salah satu peserta diskusi berkomentar: "Kalau anda menghukumi perbuatan gay itu salah dengan alasan Al Qur'an melarang gay, orang non muslim pasti akan mengatakan anda subjektif karena bagaimanapun pengambilan hukum ini tidak lepas dari sebab bahwa anda muslim"

Pertanyaan ini menjebak sekali. Bahkan mungkin orang-orang yang awalnya taat beragama tapi pada akhirnya terbawa arus sekularis liberalis juga karena terjebak dengan pertanyaan seperti ini. Pertanyaan yang menghasilkan doktrin bahwa tidak fair seseorang menjadikan agama sebagai tolak ukur menilai sesuatu karena jika agama digunakan, pasti akan menghasilkan putusan yang subjektif padahal subjektifitas itu bertentangan dengan kaidah ilmiah alias tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Nah sekarang pertanyaannya adalah, benarkah memilih islam sebagai tolok ukur untuk menilai suatu perkara itu bertentangan dengan kaidah ilmiah?

Untuk menjelaskan hal ini saya akan sedikit menggeser arah pembicaraan ke arah yang lebih umum. Sejak SD sampai kuliah, saya mengenal dua skema penilaian evaluasi akhir semester. Di SD sampai SMA, penilaian evalusi akhir semester diambil dengan cara me-rata-rata semua nilai mata pelajaran tanpa memperhatikan bobot mata pelajaran. Nah, pas kuliah saya mengenal penilaian IPK yang rumus penghitungannya memperhitungkan bobot mata kuliah. Kedua skema ini berbeda sehingga hasil akhirnya pun berbeda. Misalkan saya punya tiga mata pelajaran yang nilainya 4, 3, dan 3 dengan bobot masing-masing 2 sks, 5 sks, 5 sks. Jika skema penilaian akhir menggunakan rata-rata tanpa memperhatikan bobot maka hasilnya adalah 3.3 namun jika skema penilaian akhir menggunakan rumus IPK maka hasilnya adalah 3.1. Angka 3.1 jelas lebih kecil daripada 3.3. Namun apakah di sini saya bisa mengatakan bahwa skema penilaian ini tidak objektif, tidak fair karena skema perhitunganya berbeda? Tentu tidak, karena kedua skema penilaian ini sama-sama tidak terpengaruh oleh siapapun yang menghitung :D Tak peduli yang menghitung dosen ataupun mahasiswa jika skema yang digunakan sama hasilnya akan sama. Hanya saja di sini disediakan pilihan, mau menilai dengan menggunakan rata-rata atau IPK. Itu artinya, objektifitas masih menyediakan ruang untuk memilih tolok ukur apa yang akan kita gunakan dalam menilai sesuatu asalkan tolok ukur tersebut memenuhi syarat yaitu hasilnya tidak terpengaruh oleh kondisi penilai. 

Rasulullah SAW wafat hampir 14 abad yang lalu. Al qur’an telah tuntas diturunkan. As sunnah telah tuntas diwariskan. Dan sepanjang zaman, kedua sumber ini tak akan pernah berubah. Jadi tidak ada alasan kuat untuk menghakimi bahwa memilih kedua sumber hukum islam ini sebagai tolok ukur dalam menilai sebuah masalah adalah tindakan yang subjektif, tindakan yang melanggar kaidah ilmiah.

Menjadi muslim adalah pilihan. Mengambil sumber hukum Islam untuk dijadikan tolok ukur suatu masalah juga pilihan Ketika kita memilih islam sebagai agama kita, maka wajib bagi kita untuk menggunakan sumber hukum Islam sebagai tolok ukur dalam menilai benar salahnya suatu perkara. Orang yang mengaku Islam namun tidak menggunakan sumber hukum Islam sebagai tolok ukur dalam menghukumi suatu perkara, pada hakikatnya orang tersebut bukan lagi seorang muslim.

Wallahu a’lamu bis shawab

Menjual Agama

"Menjual Agama"

Uh,, saya benci ada org yg mengatakan demikian.. Baik dikatakan kepada saya pribadi, atau kepada rekan-rekan / tetua saya yang saya tau bener bahwa perjuangan mereka adalah tulus...

Saya menyebut org yg menggunakan kata "Menjual Agama" untuk menyerang perjuangan org lain adalah dengan Orang Berpenyakit WAHN..

Apa itu penyakit WAHN??
Yup, penyakit berbahaya yg menyerang peradaban ISLAM. Penyakit yg bisa menyebabkan seseorang ketakutan setengah mati dg suara "KEMATIAN" dan mencitai sepenuh hati dg kalimat "DUNIA".

Lalu, apa kaitannya antara Pengguna kalimat "Menjual Agama" dengan manusia berpenyakit Wahn??
Mudah saja jawabannya, mereka yg sempet berpikir bahwa dg menisbatkan "saya penyebar agama" maka saya akan mendapatkan keuntungan beken, terkenal, suci, laris manis, kondang, dll..
Ya, emang begitulah mindset org Wahn. apa2 yg dilakukannya atau org lain diseperempetkan dan dikorelasi-positifkan dengan urusan Dunia..

Hmm..
Naudzubillah..